Selasa, 10 Maret 2009

Aku dan Dia


Malam yang dingin, kulihat bulan dan bintang bertaburan di langit, aku sendiri hanya berteman sepi. Seperti biasa saat aku pulang kampung, aku hanya dihibur dengan laptop tercintaku ini. Aku mendengar musik dengannya, membaca taujih, menyimpan foto-foto kenangan, membaca e-book2 Islam yang telah lama kusimpan.
Teringat aku akan adik kelasku ketika SMP, yang dahulu sangat aku agung-agungkan itu, dimataku ia begitu sempurna. Tubuhnya yang tinggi, besar dan atletis dengan warna kulit yang putih, bersih, tampan serta kecerdasannya yang tak tertandingi teman sekelasnya. Semua itu telah membuat hatiku buta. Ketika itu aku menerima dia sebagai pacarku. Namanya Aswin, sama dengan nama adik kandungku.
Empat tahun terakhir, aku tak pernah bertemu dengannya. Sejak aku memutuskan untuk kuliah dan ia bekerja ke luar negri. Selama dibangku sekolah kami berstatus pacaran tapi sekarang hubungan kami tidak jelas lagi.
Karna teringat kenangan-kenangan tersebut aku teringat sahabatku, segera ku SMS Sardi
“Askum. Sardi apa kabar hari ini? Sekarang aku ada di rumah, mungkin besok aku pulang ke Pontianak lagi. maaf aku belum sempat berkunjung ketempat mu”.
Sardi adalah orang yang paling tahu hubunganku dan Aswin, sehingga aku menganggap dia sebagai saudara sendiri. Ia juga tahu bahwa hubungan kami sekarang sedang bermasalah. Pertengkaran yang bermula dari sms dan berlanjut sampai memutuskan komunikasi.
Selama aku kuliah, dua bulan sekali aku pasti pulang ke desa untuk menjumpai keluargaku, mengobati kerinduan dan melepas kepenatan. Sekarang aku sudah semester 7 dan sedang menyusun skripsi. Di kampus inilah aku menemukan kehidupan baru. Berjumpa dengan orang-orang yang taat beribadah, orang yang mengikat diri dengan aturan Islam. Disini pula aku memahami hakikat sebuah kehidupan, aku mulai mengerti batasan-batasan bergaul dengan lawan jenis, aturan-aturan dalam berpakaian. Setiap minggu aku mengikuti pembinaan yang biasa kami sebut liqo’an. Disinilah diriku dibentuk menjadi orang yang selayaknya sebagai manusia.
Kini aku sudah menggunakan jilbab rapi menutup aurat, aku berusaha untuk tidak bersentuhan dengan lawan jenis yang tidak halal bagiku, goncengan dengan cowok non muhrim yang dulu aku anggap biasa saja. Yang jelas, kata temanku aku berubah 180 derajat.
***
Tit-tit. tit-tit
HP ku berdering tanda SMS masuk, ku buka SMS tersebut dengan senang hati, lalu ku baca;
“Kabar baik, kapan kamu datang? Kok baru ngasih kabar ke aku, kamu udah bilang Aswin belum? pasti dia senang dengan kedatanganmu!” balas Sardi
“Belum, aku takut, aku nggak mau cari masalah dengannya lagi.”
Aku memang sengaja tidak sms aswin terlebih dahulu karna aku tahu Aswin sedang marah setelah sms seminggu yang lalu.
Suara HPku berdering lagi, tapi dengan nada berbeda. Terdengar suara ring tone sahabat sejati. ring tone kesukaanku, kulihat ada panggilan dari temanku di kampus, kuangkat dan terdengar suara seorang Akhwat.
“Assalamualaikum,
Uhkti, kapan pulangnya, jangan lama-lama dikampung, Amanah dakwah menunggu untuk diselesaikan.
“Insya Allah besok ukhti” jawabku singkat
Oh iya, Tetap istiqomah ya Ukh. Assalamualaikum”.
Mimi menelponku. Ia adalah orang yang paling mengerti tentang aku. Aku mengenalnya saat baru bergabung di organisasi dakwah kampus. Dialah sahabat dekatku, yang selalu menemani saat aku sedih maupun senang. Kami berjanji akan selalu mengingatkan untuk saling momotivasi dan menjaga iman setiap waktu.
***
Suasana didesa sangatlah berbeda dengan suasana di kota, di kota penuh dengan keributan, tapi disini sepi dan tenang. Jika ke kota malam-malam seperti ini kami biasa masih sibuk diskusi masalah kuliah dan masalah kampus. Tapi disini aku hanya berteman dengan buku dan kertas.
Aku masuk ke dapur, menemui ibuku yang lagi masak makanan kesukaanku. Ia menyiapkan untuk bekalku pulang ke Pontianak nanti.
15 menit kemudian terdengar suara motor berhenti di depan rumah, dan langsung menuju halaman rumahku.
“Assalamualaikum”
“Waalaikum salam”
Bapakku keluar menghampiri
”Pak, ada Sonia?”tanya Aswin
“Eh Aswin, masuklah. Sonia lagi didapur” jawab bapakku, ternyata bapak masih mengenal Aswin. Ayah ku memang sudah mengenal Aswin sejak aku belum kuliah. Ku dengar mereka berbicara di ruang tamu dengan serius.
Suara yang tak asing lagi ditelingaku. Suara itu adalah suara Aswin. Hatiku bergetar, detak jantungku bertambah kencang, rasa serbasalah, bahagia bercampur panik.
Sengaja aku tidak keluar menghampiri mereka karena aku lagi jengkel dengannya. Aku jengkel dengan smsnya seminggu yang lalu.
Pertengkaran kami bermula sejak sms yang dikirimkannya tanpa identitas. Awalnya aku mengira itu adalah SMS teman kuliahku yang biasa SMS aku menggunakan no baru. Oleh sebab itu kubalas smsnya dengan kata-kata “say” yang berarti sayang. Itulah kebiasaan burukku. Aku menggunakan kata tersebut bukan untuk orang tertentu tapi untuk semua orang kecuali ikhwan. Kami saling balas-membalas sms dengan kata-kata mesra, hingga hal-hal masalah jodoh. Lama kelamaan aku mulai merasa curiga dengan isi SMS yang dikirimnya. Aku hawatir orang yang aku sms adalah seorang yang tidak aku kenal. Dengan bahasa yang digunakan aku yakin bahwa ia bukanlah orang yang aku kira teman kuliah. Masih ku ingat sms terakhirnya “Dasar cewek murahan, kamu sama aja dengan cewek yang lain”. Dia juga bilang aku udah berubah, mentang-mentang mahasiswa seenaknya mengejek orang.
Cewek mana yang nggak marah jika dibilang cewek murahan, akhirnya kami saling mengejek, aku juga membalas dengan ejekan pula. Karena aku tidak mengenalnya, akhirnya aku sebut dia dengan sebutan manusia bertopeng. Dengan begitu marahnya tambah parah. Setelah pertengkaran terjadi baru ia mengatakan siapa dia sebenarnya. Apakan daya nasi sudah menjadi bubur, perkataan dia dan perkataanku tidak bisa ditarik kembali. Sejak itulah hubungan kami tidak baik sampai sekarang.
Ayahku menghampiriku ke dapur.
“Sonia, ada Aswin tuh kok nggak ditemui?” ayahku memandang heran
“Iya ayah sebentar lagi.” jawabku pelan. Padahal dalam hati aku enggan untuk berjumpa.
Aku langsung menggunakan jilbab dan kaos kaki. Walau dalam rumah aku tetap menggunakannya karena aku akan berhadapan dengan non muhrim. Baju panjang dan rok panjang selalu aku gunakan agar aku tidak repot kalo ada tamu yang mendadak datang. Kulakukan untuk menjaga auratku agar tetap terjaga. Aku menyadari bahwa seorang wanita muslimah yang sudah baligh wajib menggunakannya. Tak lupa aku membawa air teh dan kue untuk dihidangkan ke Aswin.
Kuhampiri Aswin diruang tamu, kuhidangkan, dan kupersilahkan minum. “Silakan airnya di minum”. Kataku sambil mengarahkan tangan. Air yang aku buat, ku hidangkan dua cangkir, satu cangkir untuknya dan satu cangkirnya lagi untuk ku.
Ku lihat wajahnya sedang memandangiku. Aku langsung menundukkan pandangan. Bukan karna aku takut dengannya tapi karna aku sudah terbiasa menjaga pandangan dengan lawan jenis.
Malam ini adalah malam pertama aku melihatnya setelah sekian tahun, kulihat ada perubahan pada dirinya, tubuhnya yang bertambah tinggi dan agak gemuk, kulitnya agak berwarna, tampak kedewasaan dari raut wajahnya. Rasa berdebar mulai berkuang saat aku bisa melihat langsung wajahnya.
Kami saling diam. Suasana hening. Sesekali aku melirik dia. Bisa ku tebak dari raut wajahnya yang memerah menandakan ia lagi marah. Ditambah lagi sikapnya yang tidak tenang. Selalu berubah posisi duduk menandakan ia lagi kesal denganku. Sengaja aku tidak memulai percakapan, aku ingin ia yang memulai pembicaraan.
Karena diamnya aku merasa jengkel. Mungkin sekitar 5 menit kami saling diam.
tit-tit-tit-tit HP ku berbunyi kembali, kebetulan HP ku berada diatas meja tamu.
langsung kubaca smsnya
“Maaf Sonia, kayaknya Aswin sudah tahu bahwa kamu ada di kampung, soalnya tadi dia ada pinjam HP ku untuk balas SMS temannya ” Pengirim: Sardi
Setelah ku baca, ku balas smsnya dan aku letakkan kembali HP ku di atas meja. Dengan cepat Aswin mengambil HP ku dan membaca smsnya.
“Brok…” suara HP dilempar.
Hatiku terasa tergores dengan perlakuannya, rasanya ingin ku balas lemparannya dengan lemparan yang lebih kuat. Walau sebenarnya lemparannya tidaklah kuat tapi sakitnya menusuk ke hati. ingin aku muntahkan kemarahan ini tapi aku tetap bersabar, karna aku tahu bersabar adalah terbaik untukku saat ini.
Untungnya, Aswin hanya melemparkan disampingku diatas kursi sopa dan mengenai tanganku. Untungnya Hpku bukanlah HP yang mahal dan tahan banting. Ia hanya berani melempar lempar diatas kursi sofa disampingku.
“Puas kamu” kata Aswin dengan mukanya yang merah, suaranya yang kasar
“Apa nya yang puas” kataku dengan nada kesal
“Puas dengan permainanmu, hentikan permainan mu Sonia?”
“Permainan yang mana? Aku tidak mengerti maksudmu”. Kataku sambil memandang wajahnya heran
“Benar-benar ngak ngerti atau pura-pura ngak ngerti?” Matanya yang tajam tidak sanggup ku tatap.
Aku hanya diam karna aku tahu kami memang ada masalah.
“Apa kamu lupa janji kita dahulu, kamu berjanji setia menemaniku, kamu janji kamu tidak akan mencari cowok selain aku, kamu janji tidak akan menyakitiku, tapi kini setelah aku yakin kepada janji mu, kini kamu mengingkari. Siapa Sapto, ada apa antara kamu dan Sardi, mengapa kamu tidak bilang ke aku bahwa kamu sudah datang, kamu hanya bilang dengan Sardi. Kamu kejam”. Katanya kasar.
Ya Allah, orang ini ternyata masih ingat janji kami dulu saat-saat cinta monyet. Gumamku dalam hati.
Sejak SMP kami sudah saling mengenal dan pernah saling mengungkapkan rasa suka. Dan kami sering jalan bersama dan aktif di osis. Dulu, emang sih aku suka sama dia. Tapi sekarang semua telah berubah, termasuk pada diriku. Sekarang aku punya jalan berfikir yang jauh berbeda. aku punya konsep berbeda terhadap pacaran, konsep yang insyaallah Allah juga akan meridhainya. Aku tidak seperti dulu lagi.Dulu aku memang suka pacaran tapi sekarang aku mengenal pacaran hanya setelah menikah.
“Win, kendalikan emosimu! permasalahan kita tidak akan selesai dengan cara seperti ini. Untuk sekarang aku tidak ingin bertemu denganmu karena sekarang aku masih belum bisa mengontrol emosiku. Aku ingin masalah ini diselesaikan dengan hati yang dingin”. Aku berusaha meredakan marahnya.
“Sebelum kamu berfikir yang macam-macam tentangku, ijinkan aku menjelaskan yang sebenarnya, sebenarnya kita hanya salah persepsi”. Kataku menjelaskan
“Aku masih ingat janji setia kita ketika itu, bahkan selalu aku ingat, karna itu aku merasa bersalah denganmu. Bukan karena aku sudah punya yang lain, tapi aku sekarang tidak seperti dulu. Jangan berburuk sangka dulu jika SMS mu jarang aku balas, telponmu dimalam hari sering aku abaikan, kata-kata mesramu yang selalu aku balas dengan kata-kata nasihat. Itu bukan bearti aku tidak peduli lagi denganmu, bukan berarti aku sudah melupakanmu. Hanya saja aku menyadari itu tidak berhak aku lakukan karena kamu bukan muhrimku. Apa kata orang kalo kita selalu berhubungan, Islam sangat tegas mengatur batas-batas bergaul dengan lawan jenis.
Aku tidak memberitahu kehadiranku disini bukan karena aku sudah sombong, tapi aku tidak mau mengotori hatiku. Aku takut dengan Allah, aku lakukan semuanya karna aku inginnmencari ridho Allah, demi Allah dan demi Islam semua aku lakukan. Sungguh aturan Islamlah yang akan menyelamatkan kita”. kataku berusaha menjelaskan
“Apa maksudmu berkata seperti itu?” Aswin bertanya heran.
“Apakah kamu sudah tidak suka lagi denganku lagi?” katanya ragu
“Maksud ku, Aku lakukan itu bukan karna aku sudah membencimu tapi aku lakukan demi kesucian diri dan kebaikan kita bersama”.
“Memangnya Islam melarang kita untuk saling mengenal? Gimana kalo mau serius ke pernikahan kalo tidak saling mengenal” kata Aswin membantah
“ Islam tidak melarang kita untuk saling mengenal, bahkan kita dituntut untuk saling mengenal, tapi Islam punya tatacara tersendiri agar tetap dalam koridor, dan tidak ada penyimpangan-penyimpangan.” Kataku dengan hati-hati
“Caranya?”
“Taaruf”,
”Maksudmu” sambung Aswin
“Ya, perkenalan antara dua orang yang disaksikan orang lain yang tujuannya untuk saling mengenal dan bila ada kecocokan maka akan dilanjutkan dengan menikah.” Kataku tegas
“Bagai mana ingin mengenal jika kita jarang bersama, bukankah untuk mengenal kita harus saling berjumpa dan bersama.” Kata Aswin
“Tidak semestinya harus seperti itu, jika kita ingin saling mengenal maka setelah menikah itu lebih baik, kalo belum menikah cukup dengan mengetahui karakter, hobi, kekuranga, kelebihan, biodata, tujuan untuk menikah dan apapun yang ingin kita tanyakan dengan saling terbuka dan jujur. Semuanya bisa kita tanyakan saat taarup. Kalo merasa ada kekocokan baru ada tahap melamar.”
“Apakah taaruf ini dilakukan pada semua orang?”
“Tidak win, taaruf hanya dilakukan dengan orang yang udah sama-sama siap menikah dan dengan niat menyempurnakan separuh agama dan menjaga hati”.
“Jadi gimana dengan cinta yang sudah bertahun-tahun kita bangun?.”Tanya aswin kesal
“Ya terserah, menurut aku sih, kita jangan berhubungan rutin lagi. Karna itu pacaran sebelum menikah itu tidak halal dalam Islam.”
“Maksud kamu?kita putus”.
“Ya”
“Aku ndak mau kita putus” katanya sambil menatapku
“Terserah kamu, yang jelas kita tidak boleh intensif berhubungan seperti seorang yang sedang pacaran, kamu boleh SMS aku, tapi hanya sebagai teman dan tidak ada kata rindu dan sayang lagi”.
“Kamu kejam” katanya sambil menundukkan pandangan.
“Tidak, aku bukan kejam tapi Islam mengajarkan sedemikaian agar kita tetap terjaga dan tidak dimurkainya”
“Kenapasih kamu selalu mengaitkan dengan Islam, Apa itu hanya alasan bahwa kamu ada yang lain dihatimu? Mengapa kamu menutup diri untukku”
“Astagfirullah, bukan itu maksudku”
“Jadi”
“Sejak kuliah aku tidak pernah punya pacar, bukanya maksudku menutup diri untuk mu, siapa saja punya peluang untuk memiliki aku, termasuk juga kamu, tapi harus dengan cara yang benar, bukan dengan pacaran yang tidak halal. Selain itu juga aku tidak ingin terikat dengan janji dulu maupan janji-janji sekarang. Aku juga tidak mau kaburo maktan indalllah, mengatakan apa yang tidak aku kerjakan.”
“Aku kecewa denganmu!” Dengan nada kesal ia mengatakannya.
Ku lihat ia memasang jaketnya, mengambil helem berdiri dan berjalan menuju pintu.
“Kurasa semuanya udah selesai, kamu memang bukan Sonia yang ku kenal dulu. Selamat tinggal sahabat, selamat tinggal kenangan, kau tega membuat hatiku hancur.“
”Tunggu dulu, ada sesuatu untukmu!”
Ku ambil buku yang kusimpan dalam tasku, ku berikan padanya “Baaca”
Buku yang baru kebeli sebelum aku pulang kedesa. Buku Adab bergaul seorang muslim yang di tulis oleh penulis terkenal Indonesia.
Aswin mengambil buku dariku dan segera pergi.
Kepergiannya kupandangi sampai bayangannya hilang dari mataku, aku sungguh merasa menyesal mengatakan kata putus, karna jujur dalam hatiku aku masih sayang dia tapi aku bangga dengan diriku aku bisa tegas kepada hatiku terhadap sesuatu yang sangat ditegaskan oleh Islam. Tampa aku sadari air mataku menetes dengan sendirinya. Aku tidak tau, Apakah ini air mata bahagia atau air mata sedih.
***
Sebulan pun berlalu, tiada kabar darinya, hanya ada satu SMS singkat yang kuperoleh kemaren pagi “Terimakasaih ukhti atas buku yang diberikan malam itu, bukunya luar biasa”. Lega rasanya hatiku, semoga Allah membimbingnya dan membimbingku kejalan yang benar.

Tidak ada komentar: